Senin, 22 Juni 2009

Kethek Ogleng, Kesenian Khas Kediri Yang Hampir Punah

Sukses di Tiongkok karena Mirip Sun Go Kong

Selain jaranan, Kediri juga punya kesenian khas yang lain. Bahkan, tari yang dicuplik dari kisah asmara Panji Asmarabangun dan Dewi Kilisuci tersebut juga sudah mendunia. Tapi sekarang tari ini terancam punah.

MOHAMMAD SYIFA, Kediri

Halaman rumah di Kelurahan Mojoroto, Kamis (28/5) sore, riuh dengan kehadiran anak-anak usia sekolah dasar. Mereka sedang berkumpul dan bersiap berlatih menari di Sanggar Guntur. Sanggar milik seniman tari Kediri Guntur Tri Kuncoro.

Pria 51 tahun itu dengan sabar mengajar murid-muridnya berlatih tari. Bagi Guntur, mengajar tari pada anak-anak usia seperti itu memiliki tingkat kesulitan tinggi. Para siswanya masih cenderung suka bermain-main “Jadi mengajarnya juga harus sambil bermain,” ujar pria yang akrab disapa Guntur itu.

Bagi komunitas seniman Kediri, nama Guntur sudah tidak asing lagi. Dedikasinya terhadap dunia seni bahkan sudah membawanya hingga ke berbagai negara di dunia. Memperkenalkan tari nasional ke seluruh dunia. Salah satunya adalah mempertontonkan tari Kethek Ogleng.

Menurut Guntur, tari Kethek Ogleng sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Tari ini mengalami masa puncak pada era 70-an. Tari Kethek Ogleng sangat familiar di masyarakat. Tak hanya tampil di acara-acara budaya atau resepsi resmi. Tapi banyak juga seniman yang mengamen berkeliling kampung, memeragakan tari tersebut.

Membawakan tari Kethek Ogleng tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Mulai dari kostum dan perangkat gamelan. Itulah yang menyebabkan tidak banyak orang yang bisa melakukannya. “Gerakan tarinya juga cukup rumit,” lanjut Guntur.

Seiring berjalannya waktu, tari Kthek Ogleng perlahan-lahan mulai jarang ditampilkan. Pada era 90-an kegemaran masyarakat dan seniman mulai bergeser. Mereka lebih suka memainkan jaranan yang gerakan dan musiknya lebih sederhana. Tak heran bila saat ini warga Kediri lebih mengenal jaranan sebagai seni khas Kediri dibandingkan Kethek Ogleng.

Apa yang membuat Kethek Ogleng menjadi kesenian khas Kediri? Guntur mengatakan sebenarnya tari tersebut berasal dari legenda Kota Kediri. Yaitu kisah percintaan Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji dalam Cerita Panji.

Kera atau kethek yang ditampilkan pada cerita tersebut adalah jelmaan dari Panji Asmorobangun. Dia berubah wujud menjadi seekor kera putih yang sedang mencari calon pendamping hidup.

Saat berkelana di hutan kera putih berjumpa dengan Endang Roro Setompe yang merupakan nama lain dari Dewi Sekartaji. Melihat sosok Dewi Sekartaji yang cantik jelita, Panji pun tergoda. Namun sayangnya Sekartaji tidak mau memiliki suami seeekor kera. “Akhirnya Sekartaji meninggalkan kera sendirian di tengah hutan,” cerita Guntur.

Cerita itulah yang kemudian ditampilkan dalam bentuk satu tarian dengan nama Kethek Ogleng. Sebenarnya untuk bisa menampilkan kesenian itu hanya dibutuhkan dua orang penari dengan iringan musik gamelan. Penari pertama berperan sebagai kera putih dan penari kedua berperan sebagai Dewi Kilisuci.

Agar lebih dikenal oleh masyarakat, Guntur mencoba untuk menampilkannya dalam bentuk kolosal. Pertama kali dia menampilkan tari Kethek Ogleng dalam bentuk kolosal pada 1996 saat peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Stadion Brawijaya Kediri. Saat itu jumlah penarinya mencapai 700 orang. “Itu pertunjukan terbesar yang pernah saya lakukan,” kenangnya.

Dari situlah kemudian dia diajak oleh Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur untuk mementaskan tari tersebut ke luar negeri. Mendapat tawaran itu, Guntur langsung menyambutnya. Alhasil, dia berhasil membawakan tari Kethek Ogleng hingga Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Jepang, Tiongkok, dan Turki.

Guntur mengatakan, pengalaman yang paling menarik adalah yang saat tampil di Tiongkok. Masyarakat di negeri itu sangat antusias menyambutnya. Mengapa? Ternyata ini berkaitan dengan legenda rakyat Tiongkok Sun Go Kong.

Rakyat Tiongkok menganggap Kethek Ogleng memiliki kemiripan dengan cerita Sun Go Kong. Saat itu, kostum kera putih yang dipakai oleh Guntur sempat diminta oleh penonton. “Tapi kalau saya berikan, saya pentas pakai apa?” lanjut Guntur.

Pertunjukan kolosal terakhir yang dia tampilkan adalah pada pembukaan ulang tahun PT Gudang Garam Tbk, Minggu (24/5) yang lalu. Saat itu dia menampilkan 120 orang penari yang sebagian besar adalah murid taman kanak-kanak dan sekolah dasar.

Karena jumlahnya yang banyak, sanggar milik Guntur tidak mampu untuk menampung. Akhirnya dia membawa anak-anak itu untuk berlatih di bantaran Sungai Brantas yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, Guntur membutuhkan waktu satu bulan untuk melatih anak didiknya.

Satu harapan Guntur yang ingin direalisasikan saat ini. Guntur ingin mengamen keliling kampung, menarikan kethek ogleng. Namun sayangnya hingga sekarang masih belum ada sponsor yang mau membantunya. (fud)

Radar Kediri, Sabtu, 30 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar